Sunday, August 19, 2012

Masjid Agung Cicalengka Dulunya Mau Jadi Markas DI/TII


TRIBUNNEWS.COM --  KETIKA azan Zuhur mulai berkumandang, puluhan pria dan wanita terlihat berbondong-bondong memasuki kawasan Masjid Agung (Besar) Cicalengka, di Jalan Raya Cicalengka, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Sabtu (11/8/2012) siang.
Tak lama kemudian empat rakaat salat pun dilaksanakan secara berjemaah di masjid yang memiliki satu menara itu. Seusai salat, puluhan orang jemaah itu tak langsung membubarkan diri. Suasana teduh, tenang, sejuk, dan asri masjid yang didominasi warna merah muda itu membuat para pengunjung masjid ini semakin betah.
Mereka tampak enggan langsung meninggalkan masjid lantaran masih ingin membunuh waktu dengan berbincang bersama temannya di pinggiran masjid yang memiliki tiga pintu utama dan empat pintu kecil itu.
Ketenangan masjid pun seakan membius sehingga membuat para pengunjung merebahkan tubuhnya di pinggir tembok masjid agar terlindungi dari silaunya cahaya matahari yang menembus setiap kaca-kaca masjid itu.
Sejak puluhan tahun lalu, suasana di sekitar Masjid Besar Cicalengka ini memang tenteram. Namun saat muncul pemberontakan DI/TII tahun 1950-an, ketenteraman di masjid ini sempat terusik. Pasalnya, masjid ini menjadi incaran para pendukung DI/TII untuk dijadikan markas gerakan yang dipimpin Kartosuwiryo itu.
"Masjid ini paling aman dan tidak bisa didekati pemberontak DI/TII," kata Haji Burhan (66), salah satu tokoh Masjid Besar Cicalengka, kepada Tribun, Sabtu (11/8/2012). Masjid Besar Cicalengka ini sudah berdiri sebelum ia lahir. "Dulu namanya Masjid Agung. Tapi setelah direnovasi namanya berubah," katanya.
Amannya masjid yang memiliki satu tempat salat utama dan satu tempat salat tambahan ini bukan tanpa alasan. Keberadaan markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Cicalengka membuat masjid yang memiliki 36 pilar berbentuk lingkaran itu menjadi aman untuk digunakan ibadah umat muslim yang menolak bergabung dengan DI/TII.
"Ketika masjid-masjid di sekitar Cicalengka dibakar, tidak demikian dengan Masjid Besar Cicalengka. Sebab, dua markas Yonif di sini, yaitu Yonif 308 dan 304, menjadi pertahanan dari serangan pemberontak DI/TII," katanya. Dikatakannya, saat itu setiap masjid yang berjarak sekitar 500 meter dari Masjid Besar Cicalengka dibakar DI/TII.
Burhan memang tidak tahu persis waktu berdirinya Masjid Besar Cicalengka. Menurut dia, sejak dia lahir di tahun 1946, masjid ini sudah berdiri. Ia pun menilai masjid ini seperti setiap masjid yang didirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila lainnya di Indonesia.
"Tidak ada yang istimewa dari masjid ini, yang atapnya selalu berupa tiga undakan atap. Tanpa menggunakan kubah. Makanya masjid yang didirikan yayasan selalu disebut Masjid Pancasila," ujarnya. Memang pada tahun 1990, Masjid Besar Cicalengka direnovasi dengan dana bantuan dari Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila.
Namun, uniknya masjid ini terlihat dari menara masjidnya yang memiliki tinggi sekitar 30 meter. Pasalnya, menara yang dibangun tahun 2010 itu tak hanya memiliki fungsi untuk menyuarakan azan, tapi juga sebagai tower komunikasi salah satu provider seluler. Karena itu, di sebelah pengeras suara terlihat piringan serupa parabola.
"Alhamdulillah, kami mendapat dana membangun sekitar Rp 500 juta untuk menara itu. Dan alhamdulillah masjidnya lebih bagus dan kelihatan masjid kalau dari kejauhan," katanya.
Burhan menceritakan, Masjid Besar Cicalengka memang tak pernah sepi dari kegiatan ibadah, terlebih di bulan Ramadan. Di sepuluh malam terakhir, masjid ini selalu dipenuhi warga yang mencari Lailatul Qadar dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. "Biasanya puluhan orang beriktikaf di masjid ini untuk mencari kebarokahan di bulan Ramadan ini," ujarnya.

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Teuku Muhammad Guci Syaifudin

No comments: