Thursday, November 15, 2012

ADELE


Jika diminta menyebutkan sebuah keajaiban terhebat yang terjadi tahun 2011 kemarin barangkali saya akan menyebut nama Adele. Mengapa Adele? Hingga sebelum awal 2011 silam – orang masih banyak yang jengah ketika ditanya siapa Adele. Bintang film kah? Penyanyi kah? Sampai kemudian keadaan berubah dalam sekejap ketika 21 dirilis, semenjak itulah album itu diburu orang dan terus terjual, menggembung dan tak terhentikan – bahkan hingga dua kali lipat dari total penjualan album sensasional Lady Gaga Born This Way – dan secara fantastis berhasil menembus angka 13 juta kopi di seluruh dunia hanya dalam tempo 12 bulan. Bukan Britney Spears. Bukan Katy Perry. Bukan Rihanna. Tak ada yang menyangka seorang perempuan muda bertubuh subur yang sebelumnya nyaris sama sekali tak dikenal sekonyong-konyong berhasil mengalahkan perempuan terkuat di jagat musik dunia saat ini, Lady Gaga, dan berhasil merebut hati jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia.

Sekilas tentang Adele, penyanyi blue-eyed soul bervokal contralto kelahiran Tottenham, Inggris, 5 Mei 1988 ini sebetulnya bukan pemain baru di jagat musik tapi baru sekarang publik dunia membuka mata akan eksistensinya. Padahal tahun 2009 lalu dia telah sukses mendulang dua penghargaan Grammy untuk ‘Best New Artist’ dan ‘Best Female Pop Performance’ untuk lagu Chasing Pavements dari album debutnya 19 yang rilis pada tahun 2008. Namun hingga saat itu, namanya kurang bergaung dan masih berada di bawah bayang-bayang sesama penyanyi pop soul Inggris yang jauh lebih populer seperti Amy Winehouse dan Duffy. Cukup kental mengakar pada genre Celtic-folk, modern bluesjazz, dan Brit-soul – meskipun mendapat apresiasi dari banyak kritikus atas selera musik yang dewasa dan serius untuk gadis muda seusianya, banyak yang masih memandang Adele sebelah mata sekedar sebagai “gadis kulit putih yang mencoba bernyanyi lagu kaum kulit hitam”. Maka album sophomore-nya ini lantas menjadi jawaban atas segala kesangsian publik. Persis seperti yang dilakukan oleh penyanyi perempuan dalam negeri yang sempat populer sirka 2002-2005 namun kini entah kemana rimbanya, Audy, Adele pun memberi judul setiap albumnya sesuai dengan angka usianya saat album itu diproduksi – menunjukkan kematangan perspektif dan kepekaan bermusiknya yang semakin terasah dari waktu ke waktu.

Apa yang membuat 21 spesial? Dua singel andalannya, “Rolling in the Deep” dan “Someone Like You” berbicara banyak dan dapat dikatakan mewakili seluruh isi album yang digambarkan sebagai prosa apik yang menceritakan tentang seorang perempuan dan segala kegalauan hatinya. Dipengaruhi kuat oleh cita rasa Motown-girl group tahun 60an serta seloroh lirik ber-tone agresif, cenderung impulsif dalam balutan beat yang steady dan solid layaknya “Son of a Preacher Man” Dusty Springfield atau “You Know I’m No Good” Amy Winehouse, sebagai singel pembuka “Rolling in the Deep” menjadi penjabaran argumentatif akan pilihan harmoni yang lebih berani untuk seorang Adele jika dibandingkan dengan predesesornya, “Chasing Pavements”. Dengan pola ritmisasi bass elektrik bernuansa rock-blues yang mengingatkan pada nomor Jimi Hendrix dan Tom Waits, kemudian disambut dentuman bass drum pada pembukaan lagu – untuk kategori pop, nomor yang digarap bareng Paul Epworth ini langsung mengena bahkan di hati penggemar Bruce Springsteen sekalipun dan dengan mudah mampu memalingkan telinga dari pop gimmick dengan sensasi rock yang corny seperti “Born This Way” Gaga atau “What the Hell” so-called punk princess Avril Lavigne – meski agak segan mengakui, kaum rock fanatics juga setuju kalauAdele memanglah more than just a pop chick who can sing.

“Someone Like You” adalah satu-satunya balada berformat murni vokal plus piano yang berhasil menduduki puncak tangga lagu Billboard Hot 100 – dibantu musisi indie Dan Wilson, Adele tampaknya ingin menandaskan citra yang sejajar dengan Aretha Franklin, Whitney Houston, Celine Dion, dan Christina Aguilera sebagai pengumandang lagu berkarakter lembut namun tetap mampu memamerkan vokal yang prima. Vokal dramatis Adele yang bercirikan vintage alias jadul tapi lantang dan dalam – hasil adaptasi dari para idolanya, kampiun biduanita klasik Ella Fitzgerald dan Etta James – memang menjadi mesin utama dalam membakar emosi dalam setiap lagu yang dibawakannya. Balada semi-folk feminis yang memiliki sense serupa “Bizarre Love Triangle” Frente ini sukses mengobrak-abrik perasaan terutama untuk anda yang sedang melankolis karena patah hati – namun sebagai katalog dalam teritori simfoni sensitif bercorak kewanitaan, ketimbang merujuk pada “Halo” milik BeyoncĂ©, saya lebih suka menyandingkannya dengan balada terkuat dekade lalu yang menjadi salah satu terbaik sepanjang masa, “Beautiful” gubahan mantan vokalis 4 Non Blondes, Linda Perry, yang dinyanyikan penuh penjiwaan oleh prime-ballader yang sedang menjadi bulan-bulanan media dan publik saat ini, Christina Aguilera.

Album terlaris tahun ini, 21, menjadi tonggak sejarah musik Inggris, menurut catatanGuinness World Book of Records edisi tahun 2011, dimana untuk pertama kalinya sejak era The Beatles, seorang artis asal Inggris sukses menjual album terbanyak dan tercepat sepanjang sejarah. Di usia sangat muda, dengan gaya berpakaian konservatif, Adele yang konsisten tampil di setiap undangan dan acara live dengan dandanan seperti ibu-ibu rumah tangga paruh baya membuat siapapun terkejut dengan berhasil membuktikan bahwa jika anda memiliki talenta, seorang gadis sederhana dan biasa saja pun bisa menjadi berita utama di seluruh dunia. Para kritikus musik pun menyadari bahwa 21 bisa dikatakan sebuah album klasik modern yang berhasil menghantarkan musik tergolong tradisionil dan non-mainstream untuk masuk ke kalangan penikmat musik yang lebih luas. Adele pun barangkali akan menjadi pelopor generasi bintang pop perempuan berbakat dekade ini yang ‘tidak seksi’, ‘tidak buka-bukaan’, tak perlu tampil nyeleneh sekedar untuk menarik perhatian, dan tidak menjual sex appeal demi menggaet penggemar – sebagaimana Norah Jones. Pada ajang Grammy mendatang, dia menjadi calon paling diunggulkan yang diprediksi tanpa kesulitan akan menyapu bersih setiap piala dari enam nominasi yang diterimanya tahun ini, termasuk ‘Album of the Year’. Excellent job. Terus berkarya, Adele. *

Fajar yanto Suhardi


Sunday, August 19, 2012

Masjid Agung Cicalengka Dulunya Mau Jadi Markas DI/TII


TRIBUNNEWS.COM --  KETIKA azan Zuhur mulai berkumandang, puluhan pria dan wanita terlihat berbondong-bondong memasuki kawasan Masjid Agung (Besar) Cicalengka, di Jalan Raya Cicalengka, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Sabtu (11/8/2012) siang.
Tak lama kemudian empat rakaat salat pun dilaksanakan secara berjemaah di masjid yang memiliki satu menara itu. Seusai salat, puluhan orang jemaah itu tak langsung membubarkan diri. Suasana teduh, tenang, sejuk, dan asri masjid yang didominasi warna merah muda itu membuat para pengunjung masjid ini semakin betah.
Mereka tampak enggan langsung meninggalkan masjid lantaran masih ingin membunuh waktu dengan berbincang bersama temannya di pinggiran masjid yang memiliki tiga pintu utama dan empat pintu kecil itu.
Ketenangan masjid pun seakan membius sehingga membuat para pengunjung merebahkan tubuhnya di pinggir tembok masjid agar terlindungi dari silaunya cahaya matahari yang menembus setiap kaca-kaca masjid itu.
Sejak puluhan tahun lalu, suasana di sekitar Masjid Besar Cicalengka ini memang tenteram. Namun saat muncul pemberontakan DI/TII tahun 1950-an, ketenteraman di masjid ini sempat terusik. Pasalnya, masjid ini menjadi incaran para pendukung DI/TII untuk dijadikan markas gerakan yang dipimpin Kartosuwiryo itu.
"Masjid ini paling aman dan tidak bisa didekati pemberontak DI/TII," kata Haji Burhan (66), salah satu tokoh Masjid Besar Cicalengka, kepada Tribun, Sabtu (11/8/2012). Masjid Besar Cicalengka ini sudah berdiri sebelum ia lahir. "Dulu namanya Masjid Agung. Tapi setelah direnovasi namanya berubah," katanya.
Amannya masjid yang memiliki satu tempat salat utama dan satu tempat salat tambahan ini bukan tanpa alasan. Keberadaan markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Cicalengka membuat masjid yang memiliki 36 pilar berbentuk lingkaran itu menjadi aman untuk digunakan ibadah umat muslim yang menolak bergabung dengan DI/TII.
"Ketika masjid-masjid di sekitar Cicalengka dibakar, tidak demikian dengan Masjid Besar Cicalengka. Sebab, dua markas Yonif di sini, yaitu Yonif 308 dan 304, menjadi pertahanan dari serangan pemberontak DI/TII," katanya. Dikatakannya, saat itu setiap masjid yang berjarak sekitar 500 meter dari Masjid Besar Cicalengka dibakar DI/TII.
Burhan memang tidak tahu persis waktu berdirinya Masjid Besar Cicalengka. Menurut dia, sejak dia lahir di tahun 1946, masjid ini sudah berdiri. Ia pun menilai masjid ini seperti setiap masjid yang didirikan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila lainnya di Indonesia.
"Tidak ada yang istimewa dari masjid ini, yang atapnya selalu berupa tiga undakan atap. Tanpa menggunakan kubah. Makanya masjid yang didirikan yayasan selalu disebut Masjid Pancasila," ujarnya. Memang pada tahun 1990, Masjid Besar Cicalengka direnovasi dengan dana bantuan dari Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila.
Namun, uniknya masjid ini terlihat dari menara masjidnya yang memiliki tinggi sekitar 30 meter. Pasalnya, menara yang dibangun tahun 2010 itu tak hanya memiliki fungsi untuk menyuarakan azan, tapi juga sebagai tower komunikasi salah satu provider seluler. Karena itu, di sebelah pengeras suara terlihat piringan serupa parabola.
"Alhamdulillah, kami mendapat dana membangun sekitar Rp 500 juta untuk menara itu. Dan alhamdulillah masjidnya lebih bagus dan kelihatan masjid kalau dari kejauhan," katanya.
Burhan menceritakan, Masjid Besar Cicalengka memang tak pernah sepi dari kegiatan ibadah, terlebih di bulan Ramadan. Di sepuluh malam terakhir, masjid ini selalu dipenuhi warga yang mencari Lailatul Qadar dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. "Biasanya puluhan orang beriktikaf di masjid ini untuk mencari kebarokahan di bulan Ramadan ini," ujarnya.

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Teuku Muhammad Guci Syaifudin