Thursday, February 16, 2012

Celah Bernama WORLD MUSIC dalam Hiruk Pikuk Industri Musik Barat (Di antara Artistik, Kosmetik dan Pembajakan)

When you listen to to the music of Latin America, Africa, Jamaica, Algeria, Java and other foreign climes you’ll hear the kind of raw energy and hungry enthusiasm that’s been missing from most pop music in this country for almost a decade
(Allmusic.com)


Ditengarai bahwa title, World Music timbul karena acara di Paris,bertajuk World Music Day, yang digagas oleh Joel Cohen dan diselenggarakan Maurice Fleuret itu. Dan 4 tahun kemudian, acara tersebut menjadi inspirasi utama terbitnya album World Music,Graceland. Dimana album tersebut,melibatkan banyak musisi Afrika,terutama Afrika Selatan. Pengerjaan album tersebut juga dilakukan di Afrika Selatan (Cape Town).
Album Graceland, yang dibuat oleh Paul Simon tersebut bisa dibilang merupakan album world music paling laris hingga saat ini, dengan peraihan 5 platinum dan angka penjualan 14 juta copies.
Album tersebut memang terinspirasi oleh penyelenggaraan  World Music Day (Fete de la Musique),pada 1982 di Perancis. Dan kemudian event itu diadakan setiap setahun sekali di tanggal 21 Juni.

Begitulah, sebuah genre bernama World Music lahirlah. Ada yang menyebutnya,pada awalnya sebagai World-Fusion atau Worldbeat. Pada dasarnya,world music berbentuk dasar perkawinan antara “musik barat dengan musik timur” (lebih tepatnya,music-musik dari “dunia ketiga”). Namun pada perkembangan selanjutnya, world music diartikan sebagai bentuk-bentuk music ethnic apapun yang berasal dari manapun. Tapi teristimewa dari wilayah atau negara-negara berkembang yang berada di Asia, Afrika, Oceania dan Amerika (Selatan).
Dan World Music pun berkembang biak dengan dukungan berbagai event-event spesifik seperti Music Village Festival. Selain tentu saja, WOMAD yang digagas dan diadakan oleh Peter Gabriel dan kawan-kawan yang digelar pertama kali di Shepton Mallet, Inggris, tahun 1980. WOMAD sekarang digelar di Inggris (bertempat di Charlton Park, Wiltshire) lalu Adelaide, New Zealand, Spanyol, Kepulauan Canary, Abu Dhabi dan Sicilia-Italia. Menjadi sebuah event tetap tahunan bergengsi.
Mengenai Peter Gabriel, sejak self-titled albumnya yang ketiga yang dirilis 1980, ia mulai memperlihatkan interesnya terhadap World Music.  Antara lain dengan menyusupkan beat-beat perkusif yang bernafaskan afro-music. Ia juga menggunakan peralatan perkusi Afrika.  Album tersebut ternyata juga cukup populer,karena masuk di Top-10 Charts di Inggris dan Eropa serta Top-40 Album Charts di USA.

Gabriel juga membuka record label bernama Real World. Dan label milik Gabriel tersebut,yang didirikan tahun 1989, kini bertumbuh menjadi salah satu label khusus world-music paling berpengaruh. Selain nama National Geography, dan tentu saja label yang mungkin bisa disebut terdepan, Putumayo.
Mengenai Putumayo, label rekaman ini dibangun sejak 1993. Dan kini sudah memiliki cabang label di 10 negara. Mereka pun melengkapi pergerakan mereka dalam memproduksi dan memperkenalkan musik-musik dari “negara-negara berkembang” Asia, Afrika, Amerika, Oceania dengan antara lain jaringan radio streaming, radio show, online shop untuk produk rekaman music dan merchandising yang unik.
Secara intensif, ketiga label,melakukan penelusuran akan musik-musik “eksotis” dari negara-negara berkembang tersebut. Menggali informasi, menganalisis, meneliti lebih dalam akan musik-musik “baru” tersebut.

Pada saat berikutnya, World Music juga makin laju jalannya, kian dikenal luas, setelah digelar pula berbagai awarding. Apalagi Grammy Awards, sejak 2001 mengadakan kategori Best World Music Album. Melengkapi kategori yang sebenarnya menyenggol wilayah World Music,seperti Tropical Latin Music, Salsa, Merengue, Tejano, Mexican/Mexican-American sampai Polka,yang sudah dihadirkan lebih dulu.
Best World Music pertama,di tahun 2001 itu diberikan kepada Ravi Shankar lewat albumnya Full Circle/Carnegie Hall 2000. Dengan kategori pada ajang prestigious untuk industry musik tersebut,World Music seolah mendapatkan legitimasi sebagai sebuah genre musik yang diakui dunia.
Melengkapi keberadaan dari beberapa awarding yang spesifik untuk world music seperti BBS Radio 3 World Music Awards,yang diadakan mulai 2002. Selain itu jugaSonglines Awards. Dan sebelumnya ada WOMEX (World Music Expo),yang diadakan sejak 1999.

World Music bisa menjadi pintu bagi go international-nya para musisi negara2 “3th World Countries”.  Tentu saja, dalam hal ini termasuk,Indonesia. Karena sebagai satu catatan khusus,bahwa Indonesia sudah dilihat dan dianggap sebagai salah satu daerah/negara terkaya dalam urusan musik tradisi. Yang sejatinya,sudah dilirik dan mendapat perhatian barat sejak lama.
Salah satu contoh konkrit bagaimana seorang ethnomusikologis, Robert E.Brown membuka Centre of World Music yang secara sengaja membuka satu tempat sebagai arena workshop musim panas, di Bali. Robert E.Brown kemudian lebih dikenal sebagai seorang etnomusikologis yang sangat concern terhadap musik (ethnic) Indonesia. Robert memilih India dan Indonesia sebagai “lahan” utama penelitian,pengembangan dan eksplorasinya yang dijalankannya dalam Centre of World Music tersebut.

Sekilas mengenai sejarah World Music di Indonesia, dahulu lebih dikenal sebagai musik etnik kontemporer, memang salah satunya dimulai oleh musisi barat. Adalah Eberhard Schoener asal Jerman di tahun 1975, yang bahkan bermukim dan berkelana masuk keluar desa di Bali berbulan-bulan lamanya. Pertemuannya dengan seniman karawitan Bali, Agung Raka melahirkan karya monumental, Bali Agung, sebuah album eksperimentasi percampuran barat dan timur.



Beruntunglah kemudian karena kita memiliki Guruh Soekarnoputra. Pemuda Guruh lantas hanya berbeda bulan dengan hasil karya Eberhard Schoener, juga menghasilkan karya eksperimentasi sejenis bersama Guruh Gypsi, grup kontemporernya yang berkolaborasi dengan seniman musik karawitan Bali kawakan, I Gusti Kompiang Raka.
Selanjutnya ada nama-nama lain semisal Eros Djarot dengan Barong’s Band, (alm) Harry Roesli lantas juga bisa disebut Kelompok Kampungan. Dan konsep eksperimentasi yang kini berjulukan baru, sebagai sebuah genre musik baru, World Music, diteruskan banyak praktisi musik kita.
Tersebutlah Krakatau, Samba Sunda, Didi AGP, Marusya Nainggolan, Gilang Ramadhan, I Wayan Balawan, Zithermania, (alm) Sapto Rahardjo, (alm) Inisisri dengan Kahanan, (alm) I Wayan Sadra dan Sonoseni Ensemble. Dan kemudian “mengundang” generasi muda seperti Viky Sianipar. Menyebut sebagian kecil saja diantaranya.

Maka atas nama World Music,sebut saja sebagai sebuah wilayah baru yang sengaja diciptakan kaum industrialis musik barat (Eropa – Amerika), musisi tanah air memiliki celah untuk berbicara di pentas musik dunia. Baik untuk tampil di acara-acara festival maupun melakukan penjualan album rekaman.
Olahan musik yang hasil kreatifitas tersebut, bagi kritikus musik dipahami ada dua jenis. Olahan secara kreatif artistik. Ataupun kosmetik. Sebuah kreatifitas lewat penelusuran ataupun analisis “akademis” semisal lewat penelitian panjang.
Bisa juga, sebuah kreatifitas lewat siasat jitu,”tempel-menempel”  musik tradisi dengan musik barat. Seolah memberi gincu pada pola dasar musik barat misalnya jazz ataupun pop, entah pewarna bibir atau pemerah pipi yang kental aksentuasi ethnic-nya. Itu yang disebut sebagai,kosmetik.
Namun apapun bentuk kreatifitas,ataupun niatan berdasarkan kemampuan si musisi-musisi itu sendiri,pada akhirnya memang genre bernama world music itu sudah lahir dan berkembang biak dengan relatif cepat. Dapat disebut sebagai genre music baru yang terbesar dan terluas. Saking besar dan luasnya,jangan kaget nama-nama pop seperti Shakira, Gypsy King, Enrique Iglesias, sampai Gloria Estefan dan Miami Sound Machine-nyapun dimasukkan pula dalam genre ini.
Walau,seperti seluruh musik lainnya,world music juga mengalami guncangan keras dalam soal pasar musik rekamannya. Apalagi kalau bukan lantaran terpaan badai pembajakan yang kian menggila. Yang tak lagi pilah-pilih. Tapi bahkan ada pula yang menyebut,pembajakan di satu sisi memiliki hal positif,menjadi tersebar luasnya karya rekaman. Terutama untuk jenis-jenis non-mainstream semacam world music, membuatnya jadi lebih dikenal.
Seperti sudah dikemukakan di atas,bisa untuk rekaman. Bisa pula terbuka pintu untuk tampil di panggung-panggung baik dalam acara festival maupun konser di luar negeri. Kalau beruntung,kesempatan bisa datang dengan undangan langsung dari pihak organizer setempat,lalu memperoleh pula dukungan optimal dari pemerintah kita melalui Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Paling baik,kejarlah keberuntungan,parallel dengan mengasah terus kreatifitas dalam melahirkan karya-karya “bernas” yang bisa merenggut perhatian kalangan musik internasional luar negeri.




Dwiki Dharmawan bersama Krakatau maupun proyek lain sejenisnya atau Samba Sunda atau Kahanan ataupun I Wayan Balawan dengan Batuan Ethnic Fusion-nya sudah melanglang buana, kiranya akan lebih banyak lagi musisi kita dan dengan segala grup ataupun proyek musik “eksperimentatif” sejenis lainnya bisa ikut berkiprah di dunia internasional.

Bukan lantas itu berarti menjadi,mengangkat kekayaan musik tradisi kita. Bukan ke situ arahnya. Karena sejatinya,justru yang terangkat naik,si pemusik atau grupnya yang “peduli” dengan musik-musik etnik kita yang begitu kaya. Dan memang sebaiknya,memberi dukungan dan membuka peluang lebih lebar akan lebih banyak lagi musisi-musisi kita untuk berbicara di khasanah musik internasional,karena sesungguhnya kita juga kaya dalam urusan bakat-bakat terpendam tersebut…. Baiknya kan begitu,kitalah yang merebut manfaat kekayaan yang tanah air kita ini miliki,daripada orang dari bangsa lain.
Memang,kalau bukan kita, siapa lagi?


Gideon Momongan
*****

No comments: