Wednesday, August 30, 2006

HARI KEMERDEKAAN: 61 TAHUN, 61 LAYAR, 61 EKSPRESI

Panitia Nasional HUT Proklamasi Kemerdekaan ke-61 Republik Indonesia yang didukung oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Persatuan Film Keliling Indonesia (PERFIKI), dan Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) akan menyelenggarakan sebuah acara yang bertajuk FESTIVAL 61 LAYAR TANCAP. Acara ini akan diselenggarakan di area Parkir Timur atau seputar Stadion GELORA Bung Karno, Senayan, Jakarta pada tanggal 19 Agustus 2006, pukul 19.00 WIB sd. pukul 03.00 dini hari (tanggal 20 Agustus 2006).


FESTIVAL 61 LAYAR TANCAP merupakan salah satu rangkaian kegiatan perayaan HUT Kemerdekaan ke-61 RI yang diselenggarakan secara sederhana namun diusahakan tidak kehilangan esensinya dalam menumbuhkan apresiasi dan mencerdaskan bangsa.



Layar tancap (sebutan itu muncul karena biasanya cara pemasangan tonggak penahan/peregang layar yang secara harfiah ditancapkan ke tanah) yang dilengkapi dengan proyektor film seluloid ukuran 35 mm. sebagai media pemutar filmnya, dipilih karena telah merupakan sarana hiburan dan informasi yang merakyat dan pernah sangat akrab di seluruh penjuru negeri, terlebih pada masa keemasan layar tancap ini di era 70-an. Meskipun hingga kini masih eksis, namun tentunya ditengah berbagai media komunikasi/informasi modern yang ada saat ini, keberadaan layar tancap terancam punah. Padahal sebagai hiburan yang merakyat, layar tancap dapat mencapai pelosok tanah air dan menjangkau masyarakat luas di pedesaan sekaligus memberikan pengetahuan dan menumbuhkan minat pada film-film Indonesia.

FESTIVAL 61 LAYAR TANCAP akan memutar 61 film-film Indonesia dari berbagai periode, diantaranya R.A. Kartini, Si Pitung, Surabaya 45, Doea Tanda Mata, Cas-Cis-Cus, Pacar Ketinggalan Kereta, Bibir Mer, Sangkuriang, dll. Serta film-film karya anak bangsa yang berprestasi memperoleh penghargaan, baik dalam lingkup nasional maupun internasional, seperti November 1828. Disamping itu terdapat beberapa kategori/tema film yang akan diputar, yaitu film anak-anak dan remaja, film drama, komedi, film laga, horor, film sejarah nasional dan film perjuangan bangsa. Film tertua yang akan diputar adalah sebuah film berjudul Tiga Dara karya sutradara H. Usmar Ismail produksi PERFINI tahun 1956 dan film terbaru adalah Anne van Jogja karya sutradara Bobby Sandy, produksi Jatayu Cakrawala Film & Video, Panitia Tetap Film Kompetitif BudPar, tahun 2004. FESTIVAL 61 LAYAR TANCAP dipersembahkan bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya sebagai sebuah hiburan dalam rangka HUT Kemerdekaan RI ke-61. Melalui acara ini diharapkan masyarakat mendapatkan sebuah alternatif hiburan berkualitas yang tidak hanya unik dan baru pertama kali terjadi, namun juga menumbuhkan kecintaan dan apresiasi pada film-film Indonesia. Tidaklah mustahil bila acara ini akan mengembalikan kejayaan film-film Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri, yang meskipun akhir-akhir ini telah menampakkan perkembangan yang baik, namun masih perlu ditingkatkan lagi dari segi kualitas maupun kuantitas.

Acara FESTIVAL 61 LAYAR TANCAP ini didukung penuh oleh Persatuan Film Keliling Indonesia (PERFIKI) yang merupakan satu-satunya organisasi film keliling di Indonesia. Berdiri pada tahun 1972. Dalam perjalanannya PERFIKI melalui media layar tancap diantaranya pernah menghibur masyarakat korban bencana Gunung Lawu, Aceh, dan selama sebulan di Timor Leste bersama TNI dalam Operasi Teritorial. Melalui acara ini PERFIKI berharap para pengusaha film keliling dapat berbesar hati dan terpacu dalam meningkatkan kualitas tontonan dan informasi yang mampu hadir menghampiri masyarakat dimanapun berada.

Penyelenggaraan FESTIVAL 61 LAYAR TANCAP juga melibatkan beberapa pihak, diantaranya Sinematek Indonesia sebagai penyedia film, PT. Advantage Media Communication (AMC Pro) sebagai rekanan PERFIKI, Republik Entertainment sebagai event organizer, dan PT. Titian Karya Budaya (TIKAR Production) yang menangani bidang kehumasan, promosi, dan penggalangan dana.

Melalui siaran pers ini, Panitia Nasional HUT Proklamasi Kemerdekaan ke-61 RI oleh Ketua III Bidang Seni dan Budaya, Dr. Sapta Nirwandar, yang juga adalah Sekretaris Jenderal Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI mengharapkan dukungan media masa dalam memberitakan acara ini sebagai sebuah upaya mencerdaskan bangsa dan menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia.

http://www.budpar.go.id/page.php?ic=512&id=1476

1 comment:

Anonymous said...

Festival 61 Layar Tancap, Nafsu Besar Tenaga Kurang
Oleh: Ekky Imanjaya
"Bagi yang sudah tahu cuma mengingatkan dan bagi yang belum tahu perlu diingat. Ini mungkin baru kali ini terjadi. Mungkin juga pertama di dunia dan pastinya di Indonesia:
FESTIVAL 61 LAYAR TANCAP
61 Film di 61 Layar dan DIPUTAR serentak!!!!!
Tak lain adalah dalam rangka memperingati HUT RI ke-61. Diselenggarakan oleh Dedbudpari dan Perfiki, juga Parfi.
Tempat : Stadiun Utama Gelora Bung Karno, Senayan - Jakarta
Tanggal : Sabtu, 19 Agustus 2006
Waktu : 19.00-03.00 WIB
Film yang diputar adalah Film Indonesia dari berbagai kurun waktu sampai pada saat ini.
Bagi yang biasa nonton di twentyone, ini mungkin bisa jadi suasana yang lain. Buat yang tak punya acara, sebagai menghibur sepi. Bagi penggila film, bisa jadi referensi. Dan bagi pembuat film, dapat mengetahui perjalanan film negeri sendiri dari masa-ke masa sampai tiba di masa kritis kini.
Tak dilarang bawa pasangan, silakan bawa teman, saudara, tetangga, juga orang tua kalau mau.Yang pasti bakal seru, sebab bakal dimeriahkan juga oleh : Artis-artis Parfi.
Yang tak ada, mungkin hanya gerobak jagung rebus, tukang ketoprak, atau tukang kacang dan penjual limun, serta aktivitas judi kecil-kecil dengan hadiah rokok
(suasana yang dulu saya rasakan saat menonton layar tancap dekat rumah di satu kampung di ibukota ini)".
Inilah publikasi Festival 61 Layar Tancap. Pelaksananya adalah gabungan dari Departemen Kebudayan dan Pariwisata RI, PErsatuan Film Keliling Indonesia (Perfiki), dan Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi). Sayang sekali, di email itu sama sekali tidak tercantum judul-judul filmnya—di satu milis hanya disebut 3-4 judul saja.
Maka, saya pun dengan "semangat 1945" datang, dengan harapan menapaktilasi film-film Indonesia. "Pasti ada film-film Indonesia legendaris yang susah saya tonton karena kesulitan akses," pikir saya saat itu. Paling tidak, film-film bermutu pemenang FFI, atau film yang punya nilai historisnya, lah maklum, acara ini ditujukan untuk merayakan Hari Kemerdekaan RI, dan ada embel-embel "Bagi penggila film, bisa jadi referensi. Dan bagi pembuat film, dapat mengetahui perjalanan film negeri sendiri dari masa-ke masa sampai tiba di masa kritis kini." Dalam versi lain, diisebut "Rayakanlah HUT Kemerdekaan RI ke-61 dengan menonton film-film bermutu ", dan "Rayakanlah HUT Kemerdekaan RI ke-61 dengan menonton film-film bermutu". Dari namanya saja sudah ada angka "61", umur negeri ini.Tapi ternyata harapan ini meleset.Bermutu?
Memang ada film semacam Tjoet Nyak Dhien, Naga Bonar, Doea Tanda Mata, Pedjoeang, Bulan Tertusuk Ilalang, dan Tiga Dara. Tapi selebihnya adalah Ayu Genit, Pendekar Mata Satu, Lenong Rumpi, Dukun AS, dan Pencet Sana Pencet Sini. Salahkah? Tentu tidak. Buat hiburan boleh-boleh saja, Tapi, agak mengecewakan, bagi yang ingin menonton Badai Pasti Berlalu, Mat Dower, Yang Muda Yang Bercinta, Lewat Djam Malam, dan sebagainya. Pendeknya, konsep "spektakuler" dalam milis itu tidak sama dengan yang di pikiran saya. Ekspektasi yang terlalu tinggi?Mungkin.
Agaknya, karena Perfiki termasuk penyelenggaranya, maka koleksi-koleksi merekalah yang mendominasi festival. Dan ini wajar, mengingat Perfiki segmennya adalah kelas menengah ke bawah. Tapi, bukankah ada Pedjoeang dan Tiga Dara? Bukahkah Sinematek terlibat?Mungkin dengan kurasi yang baik akan membuat mutu festival ini meningkat.
Belum lagi jadwal yang berantakan. Dengan buku acara yang cuma selembar kertas yang hanya mencantumkan keterangan no layar, judul film, dan jenis film—tanpa ada nama sutradara, pemain, atau tahun produksi—tentu sulit memilih film-filmnya, kecuali kalau ke sana hanya mencari hiburan atau sudah menjadi ensiklopedi film berjalan. Tapi yang paling parah, informasi yang tercantum di lembaran info itu banyak yang berubah. Pejuang (harusnya Pedjoeang) karya Usmar Ismail, di layar nomor 20, ternyata ada di nomor 59. layar nomor 54 yang seharusnya Si Macho jadi Si Pandir, sebuah film yang membuat pandir penontonnya--mohon maaf tidak menemukan diksi yang lebih halus. Sementara Kartini atau Me vs High Heels yang tidak ada di dalam jadwal, muncul. Ada kesan bahwa program ini asal putar, atau manajemen festivalnya yang memang buruk.
Di lihat dari segi penonton, ternyata tidak banyak yang hadir. Di beberapa titik memang lumayan rame, tapi sebagian besar hanya ditonton 3-8 orang saja. Hal ini bisa ditebak, mengingat miskinnya promosi ajang ini.
Ada beberapa hal lainnya. Menurut keterangan teman, beberapa layar di antaranya tidak beroperasi di tengah jalan karena kehabisan solar. Belum lagi gangguan akibat orang yang berjalan, mengendarai mobil dan motor, bahkan memarkirkan motor di lokasi, yang menutupi layar. Tradisi layar tancap memang membolehkan orang berbuat seenaknya, misalnya lalu lalang di depan layar—ini kalau proyektornya diletakkan terlalu rendah—atau teriak-teriak meminta orang sebelahnya untuk tidak menghalangi pandangan. Tapi kalau hal ini berulang-ulang terjadi, tentu mengurangi kenyamanan menonton.
Pada dasarnya, pemutaran 61 layar tancap—setahu pengetahuan dan pengalaman saya--melawan konsep dasar "layar tancap". Biasanya, layar cuma satu, atau kalau pun banyak, panitia hanya memutar satu film saja, dan seluruh penonton terpusat pada satu layar. Dengan banyaknya layar, maka penonton akan terpecah-pecah ke banyak titik, dan akibatnya jumlah penonton tiap titik menjadi sedikit.
Tapi, sebenarnya, ide ini, harus diakui, spektakuler. Sebenarnya ini adalah ide terobosan, out of the box. Sayang, semangat spektakulernya tidak menular pada unsur-unsur lainnya dalam sebuah manajemen festival film.
Hal ini ditambah dengan sepinya publikasi. Dan itu pun tidak lengkap.memang, promosi yang berbunyi bombastis tapi bahkan tidak memenuhi satu konsep sederhana sekalipun, yaitu 5W+1H.
Lemahnya manajemen event organizer adalah yang paling terlihat. Walau ada panitia yang memakai kaos hitam bertuliskan "Informasi" di depan dan "Sahabat Penonton" di belakang, tapi mereka cukup lihai menunjukkan tempat toilet, tapi tak cukup cekatan dalam menjelaskan, misalnya, di manakah film Pedjoeang—yang memang saya ngidam ingin menontonnya itu—berpindah layar.
Selain ide yang menarik, panitia sebenarnya mempersiapkan banyak hal sepert WC, P3k dan jajanan malam. Tapi, ternyata ritual dan seremoni—misalnya, pidato pejabat, atau pawai lampion yang tak terlalu penting-- lebih diperhatikan dari pada keseluruhan jalannya acara.
Ibarat meminjam sebuah ungkapan:"Nafsu besar, tenaga kurang". Nafsu besar sudah oke, tinggal bagaimana agar "tenaga"-nya diperbesar. Misalnya dengan membenahi manajemen festival atau kurasinya.
Mungkin, festival ini memang ditujukan bagi kalangan menengah dan—terutama—bawah, dan yang benar-benar mencari hiburan dan melarikan diri sejenak dari segala problekatika hidup. Intinya: sayanya yang "salah jurusan". Tapi, untuk tujuan ini pun mereka gagal. Penonton sepi. Padahal ini acara gratisan, lho.
Tapi untuk acara perdana, boleh deh. Dari pada nggak ada, ye nggak? Tapi, sayang juga ya, buang-buang duit.
(eimanjaya@yahoo.com)